Diluar dugaan upacara pengibaran Merah-Putih pada 17 Agustus 2013 lalu di Provinsi Aceh sangat meriah. Baik di Banda Aceh mau pun di beberapa Kabupaten/Kota lainya di Aceh.

Seperti diketahui, bendera Aceh yang berwarna merah buram bergaris hitam dengan lambang bulan bintang ditelah disahkan melalaui rapat pleno DPR Aceh. Namun Pemerintah Pusat di Jakarta melalui Menteri Dalam Negeri belum menyetujuinya, karena dinilai masih bernuasa sparatis yang notabone GAM.
Dengan demikian untuk mencari jalan terbaik, sepakat antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Aceh yang dipimpin Gubernur dan Wakil Gubernur dari petinggi GAM dan DPRA yang manyoritas Partai Aceh (PA) melakukan coling down sampai bulan Oktober 2013 yang akan datang.
Dalam perjalannya, dibeberpa Kabupaten/Kota di Aceh telah berkibar bendera berlambang Bulan Bintang itu, dengan sebuah alasan mensosialisasikan dalam rangka menyambut HUT Perdamaian Helsingki pada 15 Agustus 2013 yang lalu.
Melihat dan membaca kondisi yang dinilai memancing kerawanan itu, pihak aparat TNI mengambil inisiatif menterjemahkan, bahwa bendera Aceh masih membutuhkan diskusi lanjutan, karena belum ada pengesahan dari pihak RI di Jakarta. Dengan demikian pada minggu pertama bulan Agustus 2013 terjadilah penurunan bendera Aceh. Akibatnya, dibeberapa daerah seperti Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Jaya sedikit terjadi keteganngan, namun masih dalam batas wajar dan bisa diatasi dengan sikap perasaan saling menghoramti.
Sebagai anggota masyarakat, tentu harus waspada antara ajakan dan membagi-bagikan bendera Aceh untuk menaikan didepan rumah masing-masing, sudah dilakukan sejak bulan Mei 2013 lalu sampai menjelang awal Agustus, tidak ada yang mengsiknya. Bahkan beberpa tokoh masyarakat yang kental dengan perjuangan GAM membuat bendera Aceh itu dengan ukuran 10 X 8 meter.
Namun kondisi lain terjadi pada awal Agustus, dimana pihak aparat TNI memerintahkan warga yang telah menaikan benderan bulan bintang diturunkan menganti dengan bendera Merah Putih. Aksi ini pun disambut dengan baik oleh warga yang taat kepada aturan yang berlaku, bendera yang dibagi-bagikan Pemerintah RI melalui TNI tidak ada satu orang pun yang menolak tidak menaikan sang saka merah putih ini, bahkan beberpa masyarakat mengambil langsung dipos-pos terdekat tempat pembagian bendera dwi warna ini.
Bila kita telusuri kebelakang, suasana ini kembali kita teringat ketika peristiwa tahun 1999 sampai tahun 2005 yang lalu. Dalam rentang tahun itu, disebut era Daerah Operasi Militer (DOM) lalu, Darurat Militer (DM), Darurat Sipil (DS) dan tertip sipil. Dimana pada masa itu, bendera merah putih adalah ajang konflik yang membuat terkadang sasaranya rumah dibakar, fisik diancam, bahkan sampi-sampai nyawa melayang. Hanya karena masing-masing mempertahan antara menaikan atau menurunkan bendera merah putih.
HUT RI ke 68 kemarin, menjelang 17 Agustus 2013, aparat TNI disepanjang kecamatan sibuk memasang dan membagi-bagikan bendera merah putih kepada warga desa. Namun suatu hal yang patut dan pantas kita sebutkan, bahwa masyarakat Aceh seperti mengikuti keinginan untuk menaikan bendera merah putih tanpa banyak komentar.
Meskipun sebelumnya juga masyarakat menyaksikan dan menerima dengan baik bendera Aceh berlambang Bulan Bintang berkibar didepan rumah dan tempat-tempat usaha mereka. Artinya masyarakat menghargai perdamaian yang telah disepati pada 15 Agustus di Helsingki, antara GAM dengan RI.
TAHUN 2002
Dalam memori perjalan menyambut HUT RI, secara pribadi terngiang-ngiang peritiwa pada 17 Agustus 2002 lalu. Sebagai orang dipercayakan memimpin sebuah kabupaten, bertindak sebagai inspektur upacara penaikan bendera Merah Putih. Tepatnya di halaman Pendopo Kota Juang. Tak ada pasukan pengibar bendera merah putih, tidak juga kelihatan PNS berpakain dinas sipil lengkap atau pakai batik korpri, atau PDH dan PDL begitu juga tidak ada tokoh yang memakai jas lengkap dengan dasi. Dan, tidak ada juga atraksi demontrasi terjun payung seperti yang diperagakan pasukan angkatan udara TNI, belum lama ini dibeberapa kabupaten di Aceh.
Sedang peserta upacara lain, kelihatan campur warna warni itulah yang membuat suasana tidak bisa dipastikan, siapa yang suka dan siapa yang senang untuk upacara penaikan bendera pada saat itu. Hanya satu-satu berpakain lengkap kebesaran sipil PDH dan PDL serba putih dengan topi hitam adalah bupati yang bertindak sebagai inspektur upacara.
Sedangkan Komandan Upacara pada 17 Agustus 2002 hari itu, kalau tidak salah dalam memori penulis adalah Kapolsek Jeumpa, yaitu sdr Junaidi Yusuf adik kandung mantang Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Ditambah beberpa anggota polisi dari jajaran Polsek Jeumpa dan anggota Koramil berpakain seragam, itu pun dalam hitungan terbatas.
Ketika jam menjukan pukul 7.45 WIB , sekitar Desa Abeuk Lusong, kawasan Desa Ujong Blang atau Desa Cot Batee, dan Desa Blang Bladeh kedengaran suara bom yang menggelegar bersamaan suara dentuman senjata sahut menyahut menyambut upacara HUT RI pada tahun 2002 itu.
Siapapun anda, walaupun bernyali tinggi, tetap merasa kecut mendengar ancaman suara bom, takut nyawa melayang, mendengar senjata api memangil mangsanya dari jarak jauh disana.
Begitulah catatan kecil ini penulis tulis, hanya sekedar menginggatkan kita, bahwa daerah ini pernah terjadi gejolak perebutan lahan untuk mengibarkan bendera sang saka merah putih.
Bengkupi, 28 Agustus 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar