Sabtu, 28 September 2013

Antara Zakat dan Pajak Nangroe

Sekitar tahun 2004, Tgk Haji Muhammad Amin alias Abu Arongan Samalanga menyampaikan pemikiran tentang pemotongan zakat 2,5 persen dari penghasilan PNS. Menurutnya, persoalan sah tidaknya jangan diperdebatkan, karena kalaupun tidak sah fahla zakat, angap saja itu menjadi infak dan sedekah. Sebab, dengan adanya zakat atau sedekah dari PNS bisa terbantu kaum miskin yang membutuhkan uluran tangan dari mereka yang mampu berzakat atau bersedekah secara iklas.

Orasi yang dinilai sangat sakral itu berlangsung pada bekas kantor administrasi PT Kereta Api Indonsia (KAI). Lokasi ini kini sudah dibangun pertokoan yaitu berderetan dengan caffee 88, depan Pemdopo Kabupaten Bireuen. Pada saat itu bekas kantor KAI disulap menjadi sebuah aula serba guna, lebih populer disebut gedung muzakarah, karena gedung itu memang dipersiapkan untuk even Muzakarah Pembangunan Bireuen, ditinjau dari aspek sejarah masa lalu membangun Bireuen kedepan. Tapi diluar dugaan, suhu politik gerakan bersenjata semakin memanas, akhirnya panitia menunda seminar berskala nasional itu dengan jadwal tanpa ada batas waktu, sampai kini belum terlaksana.



Untuk menghindari keraguan para PNS yang mengikuti pertemuan itu, Abu Muhammad Amin Arongan, mengutip beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadis, tentang pembahasan zakat, termasuk zakat mal. Akhirnya peserta rapat setuju pemotongan gajinya 2,5 persen untuk zakat yang dikelola oleh sebuah badan bernama BAZIS yang dibentuk Pemda Bireuen, ditunjuk sebagai ketuanya Tgk Haji Muhammad Yusuf Abdul Wahab alias Tu Sop (Pimpinan Dayah Aziziah Jeunib), sekarang bernama BAITAL MAL Bireuen.

Sejalan dengan pelaksanaan dilapangan, ternyata  tidak semua PNS dipotong gajinya 2,5 persen. Tapi pemotongan itu diklasifikasikan. PNS yang berpangkat golongan dua, atau dengan batas gaji penghasilannya dinila masih minim, maka pemotongannya tidak sampai pada nilai 2,5 persen. Hanya dipotong sekedarnya yang dimaksudkan sebagai infak sedekah yang dikelola oleh BAZIS juga.

Setelah ada penjelasan yang mendalam dari Abu Arongan, semua pegawai merasa lega, dan persoalan kilafiahpun tidak muncul lagi dalam seiap pembicaraan dikantor-kantor dinas, di warung kopi, dan pada pertemuan arisan para ibi-ibu PNS, tentang zakat 2,5 persen ini. Dengan demikian, pihak BAZIS pun berhasil mengutip zakat dan infak sedekah dari jajaran PNS pada tahun pertama sebesar Rp 1,2 milyar lebih. 

Dana sebesar itu tidak dimasukan dalam APBD Kabupaten Bireuen, ia diluar kebijakan pemda, namun pihak pengelola berkewajiban membuat laporan pengunaan dana terse ut kepada pemerintah daerah.
Sehingga pihak pengelola BAZIS dengan mudah tanpa ada tekanan membagi dan mengelola dana zakat dan infak itu secara transparan, yang dibagi kepada beberapa kelopok antara lain kepada kepada fakir miskin, anak yaitim dan piatu, kepada lembaga pendidikan umum dan dayah, serta biasiswa kepada anak murid sekolah yang tidak mampu, dan juga diberikan sebagai dana modal usaha kepada mereka yan dinilai membutuhkan tapi tidak mampu. Ternyata pelaksanaan zakat yang dimulai pada era konflik sampai sekarang berjalan lancar, tanpa ada persoalan yang serius muncul kepermukaan.

PAJAK

Apa itu pajak. Samakah dengan infak sedekah atau zakat. Secara umum dapat disimpulkan, yaitu sama-sama pengeluaran sebahagian penghasilan kepada seseorang atau lembaga yang telah disepati sebelumnya. Dengan demikian, atara pajak denga zakat adalah sama-sama mengeluarkan, tapi ada perbedaannya dalam hal-hal tertentu.

Sedangkan pajak adalah suatu kewajiban dan pengabdiaan dengan cara berperan aktif nargaranya dengan harapan dapat membiayai berbagai keperluan negara untuk terlaksannya pembangunan nasional sesuai yang diatur oleh Undang Undan dan Peraturan negara. Pengertian lain, pajak itu adalah pemasukan devisa negera resmi untuk pembelanjaan negara ini.

Dan banyak sekali sektor pemasukan pajak, ada istilah pajak langsung, pajak tidak langsung. Dalam ketentuan tertentu bagi seseorang atau sebuah lembaga atau badan, ketika kewajiban pajaknya tidak membayar kepada negara, maka negara berhak melakukan pengutipan pajak itu secara paksa. Pemaksaanpu yang dilakuka negara dengan berbagai tindakan, termasuk hukum badan bagi si pengelola pajak yang secara sengaja tidak mengindah tidak membayar pajak untuk negara. Dengan demikian pemerintah dapat menindak, termasuk melarang atau mebatasi dengan cara mencabut izin usaha yang dilakukan olehsebuah lembaga atau badan usaha itu sendiri.

Lalu, dimanakah posisi yang disebut dengan "pajak nangroe" seperti yang disinyalir Kapolda Aceh, Irjel Pol Herman Effendi, mengatakan, sampai kini masih ada mantan kombatan GAM mengutip Pajak Nangroe pada setiap proyek pemerintah, sungguh kita sayangakan. Untuk mengatasi ini, diharapkan semua pihak turut ambil bagian mencari solusi terbaik. Hal ini diungkapkan Polda Aceh, dalam suatu pertemuan dengan atase militer Australian dan 14 atese nagara sahabat lain, di Mapolda Aceh. (Serambi, Rabu 18/9-2013) lalu.

Nah, terlepas dari pajak resmi dan pajak nangroe, kenapa tidak pemerintah Aceh mencari solusi terbaik dengan memanfaatkan potensi umat islam 99 pesen mendiami di Aceh, untuk dikaitkan dengan zakat. Hal ini memungkinkan karena Aceh sudah memiliki UU nomor 11 tentang pengaturan Pemerntah Aceh. Meskipun beberapa persoalan, termasuk keamanan, hubungan luar negeri, serta moniter diserahkan kebijakan pemerintah pusat.

Hari ini di Aceh, bukan hanya persalan Pajak Nangroe semata-mata. termasuk persoalan biaya tinggi juga sangat membuat masyarakat sah, sehingga mngakibatkan terhambatnya laju tumbuh pembanguanan di daerah ini. Sebut saja, dibeberapa instasi, yang tidak memungkinkan disebutkan satu persatu, masih ada dana liar duluar dana resmi untuk pengurusan sesuatu surat usaha atau surat kenderaan. Pengutipan yang tidak resmi ini mengakibatkan biaya tinggi untuk sebuah kegiatan usaha mereka.

Pajak Nangroe dan biaya tinggi, akan bisa diatasi, bila berbagai Zakat dikombinasikan dengan berbagai pajak di Aceh, dimana kebijakan untuk mengatur kehidupan dan kesejahteraan rakyat dijamin kearah sana. Sebagai contoh, BAZIZ atau BAITUL MAL mampu mengumpulkan dana ratusan milyar seluruh Aceh setiap tahunan, dana ini lebih banyak lagi bila zakat dibebankan atau dikordinasikan dengan pajak. Dalam hal ini peran MPU dan BAITUL MAL atau lembaga keagamaan lain menjembatani pemerintah, agar pemikiran sesorang warga Aceh yang beraga Islam tidak mengeluarkan pajak ganda atau zakat ganda.

Timbul pertanyaan juga. Apakah pajak nangroe atau biaya tinggi akan bisa di atasi di Aceh, apabila suatu saat pihak pemerintah memberikan hak kepada pemerintah Aceh untuk mengelola zakat dikombinasikan dengan pajak resmi, sebagaimana diamanahkan berdasarkan UU nomor 11. Tentusaja pertanyaan inipun bukan suatu solusi penyelesaian terhadap pajak nangroe dan biaya tinggi di Aceh. Namun. Setidaknya upaya penyelesaina maslah sudah kita memulai mencari jalan keluar. Seperti juga beberapa tahun lalu memberlakukan hukan cambuk kepada penduduk Aceh, adalah salah satu upaya mencekah terjadi maksiat di Aceh. Begitu juga upaya mengatasi pajak nangroe dan biaya tinggi di Aceh.

Seperti diketahui, sebuah LSM pernah meneliti di Aceh tentang zakat fitrah pada bualan Ramadhan seluruh Aceh yang dikalikan dengan jumlah penduduk Aceh, mencapai 4 juta jiwa lebih, maka dana yang terhimpun dari sektor zakat fitrah saja bila dikelola secara profesional sudah mampu memberikan modal usaha kepada meka yang membutuhkan. Tentu saja sebelum dikucurkan pinjaman diawali dengan berbagai pelagihan kewirausahaan, serta membekali pelatihan pengelolaan manajemen pemasaran dan manajemen keuangan.

Bila ditelusuri, banyak zakat proaktif yang belum digali dan dikembangkan didaerah Aceh yang berwawasan syariat Islam. Mungkin MPU atau lembaga lain yang harus memulai untuk mensejahterakan masyarakat Aceh yang pernah jaya pada zaman pemerintahan Sultah Iskandarmuda dulu. Kenapa tidak diera serba moderen ini kembali kejayaan itu dibut kembali, dengan pengembangan zakat dan pajak disatukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga Aceh. INSYA ALLAH.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar