Plah trieng bahasa indato orang Atjeh. BELAH BAMBU bahasa Indonesianya. Bagi generasi muda sekarang umumnya pekerjaan ini tidak pernah disaksikan. Apa lagi kalau bagi anak-anak yang lahir dan besar dikota.

Pertanyaan dari generasi sekarang, kenapa dan untuk apa bambu itu dibelah? Jawabannya sedehana saja.
sekitar tahun 1970 sampai 1980-an lalu, mungkin rentang waktu masyarakat pingiran kota mulai tertarik menata perkarangan halaman rumah dan perkebunan mereka memagar dengan kawat duri, atau beton, atau beton dari batu bata. Sehingga kelihatan pagar perkarangan rumah dan kebun mereka indah dan menarik.
Begitulah tuntutan zaman, masyarakat mulai mengikuti arus kemajuan zaman moderen. Akibatnya budaya masyarakat pingir kota, dulunya pagar rumah dan perkarangan perkebunan sudah mulai secara pelan-pelan ditinggalkan budaya pagar yang terbuat dari bambu yang dibelah empat atau delapan.
Pekerjaan membelah bambu tidak lah mudah. Apa lagi mencari bambu dalam semak-semak rerempunannya membutuhkan perjuangan yang cukup berat, sehinga bagi pekerja membelah dan mencari batang bambu membutuhkan perjuangan berat dan bisa tergores sebagaian tubuh yang membuat sang pencari bambu itu berdarah-darah.
Konon lagi ceritannya yang menarik adalah, bila seorang pemilik kebun atau ladang, andai kata pagarnya tidak kuat dirantai dengan bambu yang dibelah maka hama babi, kerbau dan lembu akan masuk kedalam perkarangan merusak dan dimakan seluruh tanaman yang ditanam oleh sang yang punya kebun tersebut.
Tapi yang lebih asyik lagi kalau kita nonton peristwa belah bambu (plahtrieng) pada zaman itu, karena bambu yang panjangnya yang kadang-kadang berukuran 5 sampai 8 meter itu yang penuh dengan berduri-duri tajam, setelah dibersikan, maka pekerjaan selanjutnya adalah membelahnya. Pekerjaan membelah inilah yang mengasyikan untuk kita amatinya.
Kenapa asyik?
1. Bambu itu kita belah memulainya dari bawah, bukan dari atas.
2. Membelah bambu (plah trieng) harus telibat kedua tangan dan kedua kaki.
3. Cara membelahnya pun harus setelah ada tempat pegangan, maka pekerjaan selanjutnya harus yang satu kita tekan, yang satu lagi kita injak, lalu diangkat setinggi-tinginya
4. Cara menginjak dan mengangkat harus kita balik-balik, kalau tidak posisnya tidak lurus dan tidak sesuai dengan keinginan dan cita-cita kita.
5. Ketika satu kita angkat, satu lagi kita injak, maka suara pecahan gemeruh terdengan dari kejauhan. akibatnya para tetanga mengetahui kita sedang melakukan pekerjan plah trieng (belah bambu).
Setelah semua selesai kita belah, lalu, pekerjaan selanjutnya pensutiran, mana bambu hasil belahan yang bagus mendapat posisi pada pertahanan yang 'mantap'. sedangkan yang kurang bagus, kalau pun dipakai hanya sebagai pelengkap penderita.
Kalau memang sudah cukup. Maka pelengkap penderitaan itu tidak jarang dibuang begitu saja atau menjadi kayu pembakar nasi. Begitulah alkisah proses pekerjaan membelah bambu.
Timbul pertanyaan lagi, apakah sekarang masih ada orang dikampunkampung membelah bambu untuk membuat pagar rumahnya agar tidak masuk hama babi, kerbau atau lembu memakan tanamannya. Jawabnya sangat sederhana, sejauh ini didesa tidak ada lagi yang membelah bambu. kalaupun ada bisa dihitung dengan jari saja.
Nah, apakah orang-orang kota dipusat kekuasaan masih adakah memberlakukan praktek belah bambu. "Wallhu aklam bissawab...." jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar